BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia, telah
terjadi pada berbagai tempat dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem
pertanian/perkebunan, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan satwa liar juga
telah terjadi pada pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan. Luas kebun sawit akan terus bertambah karena adanya dukungan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi
korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas. Dengan
aturan itu, seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman
perkebunan. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani
miskin yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun
tergusur, mereka malah seringkali dikriminalisasi bahkan dilindas. Bahkan di
banyak daerah, seperti Kalbar, sawit menjadi primadona pembangunan.
Pengetahuan
masyarakat akan peta konsesi juga menjadi penyebab lahan mereka dengan mudahnya
dikuasi PT yang bergerak pada bidang perkebunan tersebut terkait hal ini
mungkin banyak hal yang mengakibatkan lahan produksi lahan untuk menanam padi
hilang akibat dari lahan yang sudah dijual kepada perkebuana sawait. Dari itu
masalah yang diangkat dari paper ini adalah bagaimana masyarakat benar-benar
mengetahui batasan lahan sawit yang mulai digunakan untuk perkebunan jangan
sampai perkebunan sawit mengambil hak atas tanah masyarakat dengan membrikan
janji ketika semua yang sidah didapatkan mereka ikar janji bersama masyarakat
seperti penulis ketahui bahwa ada beberapa hal yang biasanya dibahas ketika perkebunan
sawit ingin menanam dilahan milik warga sebelumnya yang pertama mereka menjamin
bahwa perluasan tenaga kerja yang kedua dalam waktu sepuluh tahun meraka akan
serahkan kembali lahan yang sudah mereka gunankan kepada pemilik awal tanah
tersebut yang ketiga setiap sudah mulai panen maka ada sistem bagi hasil,
kadang janji ini yang perusahan perkebuna sawit yang tidak tepat janji.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peta Konsesi
Sumber : Wwf indonesia
Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi
antara lain diterapkan pada pembukaan tambang dan penebangan hutan. Model konsesi umum diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil. Dalam
akuisisi lahan , tidak ditemukan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
yang mengurangi hak hukum dan hak tradisional pengguna lain tanpa persetujuan
terlebih dahulu dari para pemilik lahan tradisional. Proses negosiasi antara
pemilik hak tradisional dan perusahaan telah dilaksanakan, namun rekaman proses
negosiasi tidak tersedia. Tidak tersedia peta dalam skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah-wilayah di bawah hak-hak tradisional yang diakui. Untuk
kepentingan dalam negosiasi, pihak perusahaan bersama-sama dengan pemilik hak
dan pemerintah desa setempat membuat peta rincik yang disepakati dan disetujui
bersama. lokasi untuk
perkebunan telah sesuai dengan tata ruang yaitu berada di lokasi Areal
Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan Kepmenhutbun No. 259/Kpts-11/2000 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan. Untuk wilayah Kalimantan, lokasi
perkebunan mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi No. 8 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah dan berada dalam
Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) atau Kawasan Pengembangan dan Penggunaan
Lain (KPPL).
Contoh
Kasus
B . Pelanggaran Kebun Sawit
Peta konsesi lahan yang diberikan kepada PT Hardaya
Inti Plantations. Konsesi tersebut ditandai dengan garis merah. Wilayah yang
berwarna biru adalah 4.900 ha yang dituntut para penduduk desa untuk
dikembalikan kepada mereka. (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)
Pengalaman dari masyarakat memperlihatkan bagaimana
dampak-dampak perkebunan kelapa sawit yang sangat besar terhadap masyarakat
lokal semakin buruk dengan bertambahnya waktu. Berbagai manfaat kecil yang
diberikan perkebunan, entah berupa pekerjaan atau melalui program petani
mandiri, tidak ada artinya dibandingkan dengan kehilangan akses dan kontrol
terhadap lahan dan air yang digunakan masyarakat untuk memastikan kebutuhan
pangan dan mata pencaharian mereka. Yang sering terjadi juga ketika perusahaan
datang menawarkan janji kepada masyarakat yang dengan lobi yang sangat menarik
bahkanmenawarkan kerja sama terkait pembukaan lahan milik masyarakat, setalah
negosisi terjadi mereka biasanya membuat peta konsesi yang berisakan batas
wilayah yang ingin dijadikan lahan perkebuanan setela itu dapat dilakukan
mengukuran setelah itu sekian lama terjadi perlahan –lahan,pihak perkebuanan
mengeser lahan produksi masyarakat dari
hal ini akan terjadi yang konflik anatar masyarakat dan pemilik perkebuana yang
lambat lau akan menjadikan masyarakat sengsara karana lahanny sudah tidak bisa
digunakan seperti biasanya, ini yang disebut persampasan hal tanah milik
masyarakat hasilnya banyak tuntuan mengambalian tanah masyarakat.
C.Hukum terkait masalah peta konsesi pada PT kebun sawit
dan pelanggaran yang terjadi
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Pasal
1 yang berbunyi Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan
tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam
berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
Pasal
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,
dan/atau diterima oleh suatu Badan
Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau
penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang
ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.[1]
Hal
ini yang harus menjadi perhatian bagi setiap PT yang membasis menggunakan tanah
milik negara baik hutan negara maupun hutan adat harus ada keterbuakan infomasi
terkait ketika ada hal mengenai janji-janji yang dibuat untuk pebukaan lahan
maupun hal terkait kerja sama. Faktanya masih banyak PT yang menyepelakan hal
hal ini yang dimana ketia janji sudah terucap dokumentasi disembuyikan peta
konsesi hanya jadi acuan untuk mendapatkan lahan milik hutan adat masyarakat.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
Pemerintah RI telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5613, selanjutnya disebut UU Perkebunan. UU Perkebunan
tersebut mempunyai spirit utama untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar
1945. Hal tersebut ditunjukkan antara lain dengan pengaturan secara eksplisit
maupun implisit mengenai keberpihakan kepada Masyarakat Perkebunan dan Masyarakat
(Hukum) Adat; Kemitraan; Peran Serta Masyarakat; Mengutamakan Penggunaan
Penanaman Modal Dalam Negeri.[2]
Kajian hukum tersebut perlu dilakukan agar Peraturan
Pemerintah yang nantinya dirumuskan selaras dengan konsepsi dengan falsafah
negara, tujuan nasional, UUD NRI Tahun 1945, UU Perkebunan dan undang-undang
lain yang telah ada dan peraturan pelaksanaannya serta kebijakan lainnya yang
terkait. Selain itu, dalam rangka penyusunan Peraturan Pemerintah tersebut,
dipandang perlu adanya pengkajian hukum dari aspek filosofis, teoritis,
yuridis, dan sosiologis oleh pihak di luar Pemerintah, baik
melalui pengkajian hukum secara mendalam maupun forum konsultasi dan diskusi
yang melibatkan para ahli dari perguruan tinggi dan organisasi di bidang
ekonomi, politik, hukum, hak asasi manusia, sosial, budaya, kemasyarakatan atau
profesi sesuai dengan kebutuhan—untuk memberikan masukan bagi kesempurnaan dan
penyempurnaan substansi Peraturan Pemerintah yang akan disusun, agar dapat
diterapkan serta dapat menjamin keadilan, kepastian hukum dan
kebermanfaatan bagi kelangsungan dan keberlanjutan berbagai pemangku
kepentingan kegiatan perkebunan (Pemerintah, Masyarakat dan Sektor
Swasta/Industri.
3. Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dalam RKUHP
Selain
perdebatan mengenai rumusan kejahatan lingkungan yang masih belum akurat dalam
R KUHP juga ada persoalan mengenai politik kodifikasi dan status tindak pidana
lingkungan yang mayoritas berada dalam pidana administratif. Oleh karena maka
tindak pidana lingkungan hidup dalam KUHP hanya yang bersifat generic crime
yakni terkait pasal 389 dan 390. Selebihnya, maka tindak pidana lingkungan
hidup lainnya yang administratif dibiarkan di luar kodifikasi R KUHP. Implikasi
dari hal ini adalah bagaimana status pasal tindak pidana lingkungan yang
bersifat generic crime yang telah ada dalam beberapa UU khusus seperti UU PPLH.
Pada UUPPLH, pengaturan perbuatan pidana lingkungan hidup juga termuat dalam
pasal 98 sampai pada pasal 118.[3]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pengetahuan masyarakat akan peta konsensi menjadi harapan
sehingga ketika ada perusahaan yang masuk menawarkan kerjasama khususunya
bidang perkebuanan sawit meraka sudah tidak akan mudah di permaiankan oleh
pihak perkebuanan dalam hal ini yang terkait beberapa khasus konflik antara
masyarakat dan pihak kebun yanag sampai saat ini masih ada sebagain dari pihak
perkebunan kelapa sawit yang mencari keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat. perkebunan
kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak
ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya
masyarakat setempat. Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan
melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang masing-masing mempunyai
kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara ketiga
pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif
dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara,
memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya
saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak
negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah
merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan
hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.
B.
SARAN
Dalam pembahasan peta Konsesi terhadap perlanggaran hukum
yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit masih banyak kekurangan, baik di segi
penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu
kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa
semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari
teman-teman.
DAFTAR
PUSTAKA
Dokumen
KIP Jateng , Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan
Informasi publik , Hal
2
Ermanto
Fahamsyah ,Bisnus University Faculti Humanities , UU Perkebunan dan Urgensi Peraturan dan Pelaksanaan. Hal. 1
Parliamentary
Brie series#5, Tindakan Pidana Lingungan
Hidup dalam RKUHP.
[1] Dokumen KIP Jateng , Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi publik , Hal 2
[2] Ermanto Fahamsyah ,Bisnus
University Faculti Humanities , UU
Perkebunan dan Urgensi Peraturan dan Pelaksanaan. Hal. 1
[3] Parliamentary Brie series#5 , Tindakan Pidana Lingungan Hidup dalam RKUHP.