Minggu, 14 Oktober 2018

PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP PETA KONSESI PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN PELANGGARAN YANG TERJADI

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem pertanian/perkebunan, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan satwa liar juga telah terjadi pada pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan. Luas kebun sawit akan terus bertambah karena adanya dukungan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjamin masa waktu 95 tahun bagi korporasi untuk menguasai lahan dengan tidak ada pembatasan yang jelas. Dengan aturan itu, seluruh wilayah republik ini dapat ditanami dengan tanaman perkebunan. Akibatnya tidak hanya kondisi kolonialisme muncul kembali, petani miskin yang memperjuangkan tanah dan penghidupannya dari korporasi sawit pun tergusur, mereka malah seringkali dikriminalisasi bahkan dilindas. Bahkan di banyak daerah, seperti Kalbar, sawit menjadi primadona pembangunan.
Pengetahuan masyarakat akan peta konsesi juga menjadi penyebab lahan mereka dengan mudahnya dikuasi PT yang bergerak pada bidang perkebunan tersebut terkait hal ini mungkin banyak hal yang mengakibatkan lahan produksi lahan untuk menanam padi hilang akibat dari lahan yang sudah dijual kepada perkebuana sawait. Dari itu masalah yang diangkat dari paper ini adalah bagaimana masyarakat benar-benar mengetahui batasan lahan sawit yang mulai digunakan untuk perkebunan jangan sampai perkebunan sawit mengambil hak atas tanah masyarakat dengan membrikan janji ketika semua yang sidah didapatkan mereka ikar janji bersama masyarakat seperti penulis ketahui bahwa ada beberapa hal yang biasanya dibahas ketika perkebunan sawit ingin menanam dilahan milik warga sebelumnya yang pertama mereka menjamin bahwa perluasan tenaga kerja yang kedua dalam waktu sepuluh tahun meraka akan serahkan kembali lahan yang sudah mereka gunankan kepada pemilik awal tanah tersebut yang ketiga setiap sudah mulai panen maka ada sistem bagi hasil, kadang janji ini yang perusahan perkebuna sawit yang tidak tepat janji.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Peta Konsesi
 




















Sumber : Wwf indonesia

Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada pembukaan tambang dan penebangan hutan. Model konsesi umum diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil.  Dalam akuisisi lahan , tidak ditemukan penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang mengurangi hak hukum dan hak tradisional pengguna lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari para pemilik lahan tradisional. Proses negosiasi antara pemilik hak tradisional dan perusahaan telah dilaksanakan, namun rekaman proses negosiasi tidak tersedia. Tidak tersedia peta dalam skala yang memadai yang menggambarkan wilayah-wilayah di bawah hak-hak tradisional yang diakui. Untuk kepentingan dalam negosiasi, pihak perusahaan bersama-sama dengan pemilik hak dan pemerintah desa setempat membuat peta rincik yang disepakati dan disetujui bersama. lokasi untuk perkebunan telah sesuai dengan tata ruang yaitu berada di lokasi Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai dengan Kepmenhutbun No. 259/Kpts-11/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan. Untuk wilayah Kalimantan, lokasi perkebunan mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah dan berada dalam Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) atau Kawasan Pengembangan dan Penggunaan Lain (KPPL).
Contoh Kasus
B .    Pelanggaran Kebun Sawit
 











Sumber ;GRAIN www.grain.org
Peta konsesi lahan yang diberikan kepada PT Hardaya Inti Plantations. Konsesi tersebut ditandai dengan garis merah. Wilayah yang berwarna biru adalah 4.900 ha yang dituntut para penduduk desa untuk dikembalikan kepada mereka. (Foto: Pietro Paolini/Terra Project)
Pengalaman dari masyarakat memperlihatkan bagaimana dampak-dampak perkebunan kelapa sawit yang sangat besar terhadap masyarakat lokal semakin buruk dengan bertambahnya waktu. Berbagai manfaat kecil yang diberikan perkebunan, entah berupa pekerjaan atau melalui program petani mandiri, tidak ada artinya dibandingkan dengan kehilangan akses dan kontrol terhadap lahan dan air yang digunakan masyarakat untuk memastikan kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka. Yang sering terjadi juga ketika perusahaan datang menawarkan janji kepada masyarakat yang dengan lobi yang sangat menarik bahkanmenawarkan kerja sama terkait pembukaan lahan milik masyarakat, setalah negosisi terjadi mereka biasanya membuat peta konsesi yang berisakan batas wilayah yang ingin dijadikan lahan perkebuanan setela itu dapat dilakukan mengukuran setelah itu sekian lama terjadi perlahan –lahan,pihak perkebuanan mengeser lahan produksi masyarakat  dari hal ini akan terjadi yang konflik anatar masyarakat dan pemilik perkebuana yang lambat lau akan menjadikan masyarakat sengsara karana lahanny sudah tidak bisa digunakan seperti biasanya, ini yang disebut persampasan hal tanah milik masyarakat hasilnya banyak tuntuan mengambalian tanah masyarakat.
C.Hukum terkait masalah peta konsesi pada PT kebun sawit dan pelanggaran yang terjadi
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pasal 1 yang berbunyi Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
Pasal 2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.[1]
Hal ini yang harus menjadi perhatian bagi setiap PT yang membasis menggunakan tanah milik negara baik hutan negara maupun hutan adat harus ada keterbuakan infomasi terkait ketika ada hal mengenai janji-janji yang dibuat untuk pebukaan lahan maupun hal terkait kerja sama. Faktanya masih banyak PT yang menyepelakan hal hal ini yang dimana ketia janji sudah terucap dokumentasi disembuyikan peta konsesi hanya jadi acuan untuk mendapatkan lahan milik hutan adat masyarakat.
2.   Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
Pemerintah RI telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613, selanjutnya disebut UU Perkebunan. UU Perkebunan tersebut mempunyai spirit utama untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut ditunjukkan antara lain dengan pengaturan secara eksplisit maupun implisit mengenai keberpihakan kepada Masyarakat Perkebunan dan Masyarakat (Hukum) Adat; Kemitraan; Peran Serta Masyarakat; Mengutamakan Penggunaan Penanaman Modal Dalam Negeri.[2]
Kajian hukum tersebut perlu dilakukan agar Peraturan Pemerintah yang nantinya dirumuskan selaras dengan konsepsi dengan falsafah negara, tujuan nasional, UUD NRI Tahun 1945, UU Perkebunan dan undang-undang lain yang telah ada dan peraturan pelaksanaannya serta kebijakan lainnya yang terkait. Selain itu, dalam rangka penyusunan Peraturan Pemerintah tersebut, dipandang perlu adanya pengkajian hukum dari aspek filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis oleh pihak di luar Pemerintah, baik melalui pengkajian hukum secara mendalam maupun forum konsultasi dan diskusi yang melibatkan para ahli dari perguruan tinggi dan organisasi di bidang ekonomi, politik, hukum, hak asasi manusia, sosial, budaya, kemasyarakatan atau profesi sesuai dengan kebutuhan—untuk memberikan masukan bagi kesempurnaan dan penyempurnaan substansi Peraturan Pemerintah yang akan disusun, agar dapat diterapkan serta dapat menjamin keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaatan bagi kelangsungan dan keberlanjutan berbagai pemangku kepentingan kegiatan perkebunan (Pemerintah, Masyarakat dan Sektor Swasta/Industri.
3.   Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dalam RKUHP
        Selain perdebatan mengenai rumusan kejahatan lingkungan yang masih belum akurat dalam R KUHP juga ada persoalan mengenai politik kodifikasi dan status tindak pidana lingkungan yang mayoritas berada dalam pidana administratif. Oleh karena maka tindak pidana lingkungan hidup dalam KUHP hanya yang bersifat generic crime yakni terkait pasal 389 dan 390. Selebihnya, maka tindak pidana lingkungan hidup lainnya yang administratif dibiarkan di luar kodifikasi R KUHP. Implikasi dari hal ini adalah bagaimana status pasal tindak pidana lingkungan yang bersifat generic crime yang telah ada dalam beberapa UU khusus seperti UU PPLH. Pada UUPPLH, pengaturan perbuatan pidana lingkungan hidup juga termuat dalam pasal 98 sampai pada pasal 118.[3]

BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Pengetahuan masyarakat akan peta konsensi menjadi harapan sehingga ketika ada perusahaan yang masuk menawarkan kerjasama khususunya bidang perkebuanan sawit meraka sudah tidak akan mudah di permaiankan oleh pihak perkebuanan dalam hal ini yang terkait beberapa khasus konflik antara masyarakat dan pihak kebun yanag sampai saat ini masih ada sebagain dari pihak perkebunan kelapa sawit yang mencari keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat. perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat. Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara ketiga pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan  produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.

B.     SARAN

Dalam pembahasan peta Konsesi terhadap perlanggaran hukum yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit masih banyak kekurangan, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA

Dokumen KIP Jateng , Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi publik , Hal 2

Ermanto Fahamsyah ,Bisnus University Faculti Humanities , UU Perkebunan dan Urgensi Peraturan dan Pelaksanaan. Hal. 1

Parliamentary Brie series#5, Tindakan Pidana Lingungan Hidup dalam RKUHP.



[1] Dokumen KIP Jateng , Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik , Hal 2
[2] Ermanto Fahamsyah ,Bisnus University Faculti Humanities , UU Perkebunan dan Urgensi Peraturan dan Pelaksanaan. Hal. 1
[3] Parliamentary Brie series#5 , Tindakan Pidana Lingungan Hidup dalam RKUHP.

ISU ILLEGAL LOGING KALIMANTAN BARAT

Isu Lingkungan Tentang Illegal Logging Kalimantan Barat

A.    Illegal Logging
Menurut Tacconi ( dalam Tomi Prasetyo Noya 2013:12), pembalakan liar atau kegiatan hutan ilegal meliputi semua tindakan ilegal yang berhubungan dengan ekosistem hutan, demikian juga industri yang berhubungan dengan hutan dan hasil hutan kayu serta non-kayu. Kegiatan itu meliputi tindakan yang melanggar hak-hak atas lahan hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh tahap pengelolaan hutan dan rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga penebangan dan pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan.[1]
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Illegal Logging adalah penebangan kayu di kawasan hutan dengan tidak sah.[2]
Sedangkan menurut Haryadi Kartodiharjo, 2003 mengatakan bahwa Illegal Logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam Perizinan.[3]
Illegal Logging menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan hutan tanpa izin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).[4]
Dalam  Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan), kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalamkawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatantersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukumdibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan
Jadi, pada hakikatnya, pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Definisi yang jelas, praktis dan dapat diterima mengenai legalitas diperlukan untuk setiap negara sebagai dasar instrumen pasar, seperti verifikasi legalitas, dan untuk penegakan hukum. Ada banyak tantangan dalam mengembangkan definisi tentang legalitas, seperti menarik benang merah antara pelanggaran berat dan kecil serta konflik antara hukum adat dan hukum formal. Di sini, kami memberikan ringkasan tentang apa saja yang menyusun suatu kegiatan kehutanan yang ilegal. Kami tidak bermaksud memberikan definisi yang spesifik. Aliansi ini, sebagaimana yang dibahas di bagian selanjutnya pada laporan ini, sedang menyusun definisi tentang legalitas untuk Indonesia.
B.      Illegal Logging di Kalimantan Barat
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri membekuk seorang pemilik modal atau bos terkait kasus illegal logging atau pembalakan liar di Kalimantan Barat. Kepala Subdit Dittupidter Bareskrim Polri, Kombes Pol Irsan mengatakan, tersangka berinisial AK tersebut ditangkap pada Rabu (17/1/2018) lalu. AK ditangkap setelah melalui serangkaian penyelidikan terkait sumber dana aktivitas illegal logging yang terjadi di daerah Sandai, Kabupaten Ketapang, yang diungkap Bareskrim Polri pada 19 November 2017 lalu. dalam penggerebekan gudang kayu milik perusahaan yang dikelola AK di daerah Ambawang pertengahan November 2017 lalu, polisi menyita 390 kubik atau 40.959 batang kayu yang diamankan di tiga lokasi, antara lain di Kecamatan Sandai Kabupaten Ketapang; gudang kayu di Sungai Ambawang Jalan Trans Kalimantan KM21, dan; Pelabuhan Dwikora Pontianak. "Kayu tersebut berasal dari Sandai, Kabupaten Ketapang, yang rencananya akan dibawa ke Jakarta. (Kompas.Com, 19/01/2018).[5]
Khasus Illegal Logging ini sebenarnya sudah marak terjadi di kalimantan barat terutama di daerah pedalaman seperti di Kecamatam sandai yang banyak di antara masyarakatnya mengantungkan hidup dari bekerja sebagai pembalak kayu liar. Bahkan pemasuk kayu illegal banyak berasal dari sandai seperti kayu ulin yang biasanya di muat dengan mobil truk untuk dibawa ke pontianak untuk di jual kepada penampung dengan harga yang sangat mahal sesuai dengan ukuran dan kualitas kayu yang di bawa dan di hasilkan, seperti info yang di dapat satu kayu berukuran 8x8 biasa di jual sekitaran 100-200 perbatang itu pun sesuain dengan kualitas kayu yang di hasilkan. Selain juga di daerah kecamatan sandai juga masih banyak ketersedian kayu sehingga dengan mudah untuk mandapatkan kayu untuk di gunakan pembangunan di berbagai daerah yang memerlukan kayu ulin. Tetapi sudah beberapa tahun ini kegiatan illegal logging di kalimantan barat sudah berkurang akibat tegasnya kapolri dalam menanggapi masalah illegal logging ini terbukti bahwa sudah banyak kepala-kepala dalangnya yang sudah ditangkap dimasukan dalam buih penajara sesuai dengan aturan yang berlaku berdasarkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan atau dengan hukuman perjara 1 tahun 6 bulan dengan denda seratus juta rupiah perorang hukuman kurungan selama itu sudah di potong hukuman yang awalnya 2 tahun untuk setiap tindak pidana illegal logging baik merusak dan  Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan, Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan  Menebang pohon tanpa izin. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH, Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
DAFTAR PUSTAKA
Hariadi kartodihardjo, “masalah kelembagaan dan arah kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan.
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001”.
Kompas.Com (19/01/2018) Bareskrim Polri Bekuk Bos "Illegal Logging" di Kalimantan Barat. Hhtp://www. Kompas.com. diakses 12/10/2018.
Tomi Prasetyo Noya, Tijauan Yuridis Terhadap Penegakan Hukum Pidana dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging berdasarkan UU.No.41/1999 Tentang Kehutanan. Makasar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.




[1] Tomi Prasetyo Noya, Tijauan Yuridis Terhadap Penegakan Hukum Pidana dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging berdasarkan UU.No.41/1999 Tentang Kehutanan. Makasar  hlm 12
[2] Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2001.
[3] Hariadi kartodihardjo , masalah kelembagaan dan arah kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Hlm 2
[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
[5] Kompas.Com (19/01/2018) Bareskrim Polri Bekuk Bos "Illegal Logging" di Kalimantan Barat.Hhtp://www.Kompas.com.diakses12/10/2018.

statistik uji

PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP PETA KONSESI PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT DAN PELANGGARAN YANG TERJADI

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan berb...